Saturday, December 26, 2009

Infotainment Dan Kode Etik Jurnalistik

Mencermati berita infotainment memang menarik, bahkan sangat, sangat dan sangat menarik mengikuti berita jenis ini, namun bila dilihat lagi, terutama dari segi hukum, etika, dan tata susila nampaknya sudah jauh dari etika Ke Indonesiaan, konsep Infotainment sudah sangat Liberalism tanpa ada social responsibility and self responsibility (tanggung jawab terhadap diri sendiri dan terhadap sosial/masyarakat). Liberalism bisa diterima di Indonesia, jika diiringi adanya social responsibility and self responsibility. Tapi pada kasus-kasus pemberitaan infotainment, sungguh sangat jauh dari apa yang dinamakan social responsibility and self responsibility. Antara fakta, gosip, kabar burung, opini bahkan trial by pers sudah bercampur menjadi satu.

Tengoklah berita infotainment yang cenderung sudah mencampur adukkan antara gosip, fakta, opini dan trial by pers. Kadang pula dibumbui kata-kata provokatif dan terasa menyengat. Lihat pada saat pemberitaan kasus Mulan dinikah siri oleh Ahmad Dhani, infotainment-infotainment yang ada, sangat mengesampingkan apa yang dinamakan kode etik jurnalis/wartawan.

Berdasarkan kode etik jurnalistik wartawan Indonesia (PWI), Pasal 12 menyebutkan:
”Wartawan Indonesia meneliti kebenaran bahan berita dan memperhatikan kredibilitas serta kompetensi sumber berita” .

Sementara di Pasal 5 nya :
”Wartawan Indonesia menyajikan berita secara berimbang dan adil, mengutamakan kecermatan dan kecepatan serta tidak mencampur adukkan antara fakta dan opini sendiri. Tulisan berisi interpretasi dan opini wartawan agar disajikan dengan menggunakan nama jelas penulisnya.”

Dari ketentuan Pasal 12 dan Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik diatas, termaksud didalamnya adalah asas cover both side dan asas cek and ricek dalam pemberitaan. Asas cover both side dan cek and ricek yang dimaksud adalah menyajikan berita secara berimbang dan adil, artinya apabila berita tersebut menyangkut banyak pihak, maka semua pihak yang terlibat dalam berita tersebut harus di konfirmasi sebelum berita tersebut dimuat, dan semua pihak harus mendapat porsi tayang untuk beritakan secara berimbang.

Sementara menyangkut memperhatikan kredibiltas dan kompetensi sumber berita, wartawan juga harus memperhatikan apakah si narasumber/sumber berita itu memang punya kemampuan dan kecakapan (kredibilitas) serta memang ahli pada bidangnya, atau setidak-tidaknya tahu dan paham apa yang hendak di jadikan topik berita dan diinformasikan (kompetensi). Menyangkut kredibilitas dan kompetensi ini tidak bisa dilepaskan dari kondisi obyektif dan subektif narasumber. Artinya tingkat kesehatan, kecakapan, kemampuan motorik, mendengar, berbicara, menganalisa, dan hal-hal yang berkaitan dengan nara sumber berita harus diperhatikan.

Dalam ketentuan bahwa wartawan tidak boleh mencampur adukkan antara fakta dan opini sendiri, berarti memang tugas wartawan adalah menyajikan fakta ansich saja. Dus, tidak boleh ada embel-embel opini dan wacana tersendiri, termasuk didalamnya kata-kata provokatif yang memancing rasa penasaran dan menyentak hati. Opini sang wartawan, bolehlah ditulis/diberitakan sendiri dengan jelas dan mencantumkan nama terang wartawan tersebut. Ini mengandung konsep apabila jika sewaktu-waktu akibat dari opini wartawan tersebut menimbulkan keresahan, pencemaran nama baik, atau suatu trial by pers (pengadilan oleh pers) maka wartawan tersebut dapatlah dituntut dimuka hukum.

Namun pada kasus-kasus berita Infotainment, nampaknya asas-asas, peraturan, serta kode etik jurnalistik tersebut masih dikesampingkan. Cobalah lihat kasus pemberitaan Mulan dan Ahmad Dhani yang dikabarkan nikah siri (ini hanya sebagai sampel saja, sebenarnya kalau mau dikaji masih banyak kasus pemberitaan infotainment lainnya). Pada pemberitaan tersebut, asas cover both side dan cek and ricek tidak ditampilkan pada awal munculnya berita. Beberapa hari setelah berita Ahmad Dhani dan Mulan heboh dan mengguncang masyarakat, infotainment-infotainment barulah melansir konfirmasi dari pihak-pihak yang terkait. Seharusnya pada saat bersamaan dengan info tersebut tayang perdana/pertamakalinya, konfirmasi terhadap pihak lain yang terkait juga harus ada dan diberitakan secara imbang dan sama prosinya (artinya sama banyaknya dan sama kualitasnya) dengan berita dari salah satu nara sumber.

Salah satu yang kontroversial dari pemberitaan infotainment tentang nikah sirinya Ahmad Dhani dan Mulan adalah sumber berita yang dijadikan narasumber, yaitu Ayahanda Ahmad Dhani: Edy Abdul Manaf. Kondisi kesehatan dan kejiwaan Bapak Edi A. Manaf saat di wawancarai sudah tidak prima lagi. Beliau sudah mengalami stroke 4 kali, sudah uzur, dan (mungkin) pikun. Terlihat dari cara bicara beliau yang masih pelo dan cadel. Seharusnya wartawan memperhatikan hal ini, dan mempertimbangkan juga kemampuan fisik, psykis, motorik dan psikomotorik dari nara sumber ini. Yang terjadi adalah wartawan infotainment tetap saja menjadikan Edy A. Manaf sebagai narasumber berita, tanpa melihat kondisi kesehatan, fisik, psykis, dan psykomotoriknya.

Nampak juga infotainment masih belum bisa memilah antara fakta dilapangan dan opini sendiri. Antara data dan analisa/pendapat wartawan harus dipisah. Lihat saja (maksudnya ingat-ingat saja) kata-kata di infotainment yang cenderung adalah opini yang terkesan provokatif. “Apakah ini merupakan akhir dari perkawinan dan keluarga Dhani-Maya?” atau “Perkawinan siri ini tentu mengganggu hubungan antara Dhani dan Maya”, atau “Kabar yang mengguncang keutuhan rumah tangga Dhani dan Maya”. Adalah bahasa-bahasa yang merupakan opini, bukan fakta dan terkesan provokatif. Apakah benar ada fakta bahwa kabar ini mengganggu perkawinan, hubungan dan keutuhan rumah tangga Dhani dan Maya? Faktanya berbicara sebaliknya. Seringkali terlihat di infotainment, opini/pendapat/wacana pribadi wartawan atau redaksi infotainment, ataupun opini dan pendapat pribadi pembawa acara muncul dan bercampur dengan fakta berita yang ingin disuguhkan..

Bagaimana mensikapi hal-hal seperti ini? Penulis pikir perlu langkah tegas dan berani, namun tetap pada koridor aturan main dan hukum yang berlaku. Pada Pasal 17 Kode Etik Jurnalistik menerangkan bahwa: “Pengawasan dan Penetapan sanksi pelanggatan kode etik Jurnalistik ini adalah sepenuhnya hak organisasi dari Persatuan Wartawan Indoensia (PWI) dan dilaksanakan oleh Dewan Kehormatan PWI”. Dan “Tidak satupun pihak yang dapat mengambil tindakan terhadap wartawan Indonesia dan atau medianya berdasarkan pasal-pasal dalam Kode Etik Jurnarlistik ini”

Artinya berdasarkan ketentuan tersebut, bukan berarti wartawan tidak bisa dikenakan sanksi bila melanggar kode etiknya, wartawan tetap saja bisa dijatuhkan sanksi atas pelanggaran kode etiknya, namun yang menjatuhkan sanksi adalah PWI. Dengan kata lain, PWI berdasarkan masukan, aduan, keberatan, somasi, dan bukti-bukti yang disodorkan oleh pihak yang keberatan dengan pemberitaan, dapatlah memeriksa dan menjatuhkan sanksi bila nanti ternyata terbukti bahwa memang terjadi pelanggaran kode etik jurnalistik. Inilah yang disebut sebagai social responsibility and self responsibility dalam dunia pers.

Ahmad Dhani, sebagai pihak yang diberitakan, dapat saja mengajukan keberatan, pengaduan, somasi, kepada PWI atau Dewan kehormatan PWI, atas pemberitaan infotainment tersebut. Bukan sebagai mencari sensasi, atau suatu sikap arogan, sombong, menang sendiri atau sikap sok-sok an. Namun justru sebagai sikap yang menghormati profesi wartawan, menempatkan diri sebagai warga negara yang baik, menjunjung tinggi hukum dan justru ini sebagai self instropeksi bagi PWI, Jurnalis, Wartawan, maupun bagi Infotainmet agar dikemudain hari dapat menyajikan informasi dengan bobot yang lebih baik lagi. Juga sebagai sebuah pelajaran bersama, sebuah proses menuju kedewasaan, bagi warga bangsa Indonesia. infotainment haram

0 comments:

Post a Comment

 
© Copyright by Kampanye Damai Pemilu Indonesia 2009  |  Template by Blogspot tutorial