Friday, April 9, 2010

Serbainstan dengan Menjiplak

Contoh Makalah WAJAH pendidikan di Indonesia kembali tercoreng. Kali ini, akibat keterbongkaran kasus penjiplakan yang menghebohkan. Harus diakui, kasus penjiplakan bukan kisah baru di negeri ini.

Ya, beberapa waktu lalu, penjiplakan di Universitas Parahyangan ramai diperbincangkan. Departemen Pendidikan Nasional pun kembali bersuara tentang cek and cek ulang karya ilmiah para ilmuwan.

Penjiplakan sudah menjalar, bahkan mendarah daging, dalam kehidupan masyarakat. Dunia pendidikan yang merupakan tempat kelahiran ide dan kreativitas seakan-akan jadi “sarang” untuk tumbuh subur praktik penjiplakan.

Betapa tidak? Kasus penjiplakan yang terungkap baru-baru ini ternyata dilakukan pendidik yang seharusnya menegakkan etos betapa penting melahirkan ide, karya ilmiah hasil yang autentik.

Tak jarang kita dengar banyak dosen mengeluh karena banyak mahasiswa menjiplak. Mereka menemukan mahasiswa yang hanya melakukan copy-paste alias menjiplak tulisan orang lain dalam tugas atau karya ilmiah seperti makalah dan skripsi.

Namun tak sedikit pula dosen yang menjiplak. Lebih parah lagi, ada pula dosen yang menjiplak karya tulis mahasiswa. Mencaplok karya mahasiswa dan mengakuinya sebagai karya dan miliknya. Ironis.
Pragmatis Bagaimana pandangan sivitas akademika mengenai penjiplakan? Dekan Fakultas Hukum Universitas Stikubank Safik Fauzi SH MHum berujar bahwa penjiplakan muncul karena kecenderungan sikap dan perilaku manusia modern yang instan dan pragmatis. Tak pelak, nilai-nilai moral dan etika tak lagi mereka perhitungkan. Yang patut disesalkan, mengapa penjiplakan hadir di kalangan pendidik di negeri ini?

“Secara hukum penjiplakan sangat dilarang. Kita tak boleh mengambil hak cipta intelektual seseorang. Apalagi undang-undang tentang hak atas kekayaan intelektual sudah jelas mengatur tentang plagiarisme,” katanya.
Dia mengemukakan banyak faktor yang membuat banyak kalangan pendidik nekat mengambil jalan pintas itu, Misalnya, penerbitan undang-undang tentang sertifikasi dosen.

“Undang-undang membuat dosen telah melalui proses sertifikasi akan mendapat tunjangan profesi. Akhirnya dosen beramai-ramai mengejar sertifikasi. Namun karena sibuk, mereka tak sempat membuat karya ilmiah. Akhirnya mereka bertindak secara instan. Selain itu, kebutuhan guru besar di perguruan tinggi juga makin besar, sehingga banyak pendidik tak menunjukkan etika intelektual untuk mengejar gelar,” tutur dia.

Dia berharap untuk mencegah penjiplakan terulang, perguruan tinggi harus menegakkan kembali peraturan yang jelas dalam peningkatan profesi dosen. “Sanksi hukum dapat menjadi obat terakhir agar para penjiplak jera. Media massa pun harus andil dengan memberitakan kasus penjiplakan sehingga menimbulkan efek malu.”

Presiden Mahasiswa Stikubank, Dannie Indra Pradita, menyatakan penjiplakan merupakan tindakan tak terpuji. Apalagi bila menjiplak atau mengakui karya orang lain sebagai hasil karya sendiri itu dilakukan kalangan terdidik dan pendidik.

“Tindakan plagirisme yang lebih halus tetapi sering dilakukan adalah mengungkapkan pendapat atau pandangan orang lain, tanpa menyebutkan nama orang tersebut. Sekarang banyak pendidik yang hanya mengejar titel. Apalagi sekarang dengan mudah kita mendapatkan jurnal ilmiah. Tentu tindakan plagiat akan makin mudah dilakukan,” kata mahasiswa Fakultas Teknologi Informasi itu.
Terapi Kejut Dia mengemukakan masyarakat tak bisa berkembang jika penjiplakan tak diberantas. Tanpa keadilan dan penghargaan semestinya pada figur yang berprestasi, amat sulit tercapai kemajuan di bidang sosial, moral, dan teknologi.

“Jika tak segera dibenahi, orang-orang cerdik pandai akan mencari masyarakat lain yang bisa memberikan penghargaan yang adil. Itu yang menyebabkan banyak di antara mereka ke negara maju. Untuk itulah terapi kejut bagi penjiplak sangat perlu. Misalnya, dengan pencabutan gelar,” ujar dia.

Menteri Sosial Politik BEM Undip, Perdana Gutomo Putra, menilai acap terjadi penjiplakan di Indonesia karena kurangnya pengertian bahwa tindakan itu salah. “Sering orang tak sadar telah menjiplak. Misalnya, banyak orang berkata-kata seakan-akan itu hasil pemikirannya. Padahal, sebenarnya dia mencontek tulisan orang lain. Padahal, sekalipun dia mengembangkan pemikiran baru, masih perlu menyebutkan orang lain yang jadi narasumber,” katanya.

Untuk mencegah penjiplakan, perguruan tinggi harus selalu memperhatikan mekanisme pengecekan tugas karya ilmiah mahasiswa dan dosen. “Jika mekanisme itu dijalankan dengan baik dan benar, tentu dapat mengurangi penjiplakan karya ilmiah. Perguruan tinggi harus mampu me-motivasi agar mahasiswa dan dosen membuat karya ilmiah dengan baik. Plagiat bisa dilakukan siapa saja dari mahasiswa S1 hingga guru besar. Itu akibat dari rendahnya produktivitas akademisi Indonesia dalam menulis ilmiah,” tutur mahasiswa asal Cilacap itu.

Selain itu, kata dia, pemahaman betapa buruk penjiplakan harus ditanamkan sejak dini. Di negara maju, umumnya anak-anak sejak kecil diajar tidak menjiplak. Setiap anak dimotivasi untuk menghasilkan karya sesuai dengan kreativitas masing-masing.

“Di negara-negara maju, meniru karya orang lain sebaik apa pun dinilai rendah. Karena itu setiap anak terpacu untuk menampilkan hasil pemikiran sendiri. Mereka juga dilatih menghargai karya teman. Di Indonesia, itu masih jarang. Walau mencontek tak dibenarkan, pemahaman tentang arti penting mengakui karya orang lain masih minim. Akibatnya, banyak orang merasa menghasilkan karya, tetapi tak menyebutkan narasumber yang berperan penting,” kata mahasiswa Teknik Sipil itu. (53)

0 comments:

Post a Comment

 
© Copyright by Kampanye Damai Pemilu Indonesia 2009  |  Template by Blogspot tutorial